Reuni 212 Curi Start Kampanye Bawaslu Harus Bangun Tidur

vocnewsindonesia.com -Jakarta – Reuni 212: Bawaslu “Masuk Angin” Boni Hargens | Direktur Lembaga Pemilih Indonesia gelar kembali Diskusi Seri Ke XIII bertajuk “Reuni 212 Curi Star kampanye Bawaslu Harus Bangun Tidur. bertempat Gado-gado Boplo Satrio Karet Kuningan Jakarta (Rabu 5/12).hadir dalam diskusi tersebut : Kastorius Sinaga,Karyono Wibowo,Jaery Sumampouw,Gus Sholeh mz, moderator Desi Dwi Jayanti.
Dalam tradisi demokrasi, oposisi politik bisa dilakukan oleh partai yang kalah dalam pemilu atau juga oleh kekuatan non-partai. Oposisi oleh partai biasanya terjadi di parlemen dan dilakukan secara formal dalam mekanisme check and balances. Gerakan non-partai sifatnya cair dan dinamis. Dalam konteks ini, para pengamat, tokoh masyarakat, dan ormas bisa mengambil peran sebagai oposisi terhadap pemerintahan yang berkuasa. Itu sah dalam demokrasi.
Reuni 212 telah seusai dan berlangsung damai. Kita berterimakasih kepada seluruh umat yang hadir dengan tertib dan menjaga keamanan ruang publik. LPI juga berterima kasih kepada Kepolisian Republik
Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, dan Badan Intelijen Negara atas kerjakeras dalam menjaga keamanan dan mengantisipasi segala kemungkinan buruk yang mengganggu stabilitas bangsa dan Negara.
Kembali soal Gerakan 212, apakah ini gerakan oposisi politik? Otomatis! Mari kita perhatikan gerakan ini
dalam tiga aspek: (1) historis, (2) temporal (waktu), dan (3) diskursif (wacana/narasi).
Dari aspek sejarah, Gerakan 212 bermula dari kasus “penistaan” yang dituduhkan pada Gubernur DKI.Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok yang pada tahun 2016 sedang berkampanye politik melawan pasangan Anies-Sandi., Ahok ketika itu adalah pasangan terkuat dalam berbagai survey independen
Keadaan berbalik setelah Ahok menyebut ayat suci Al-Maidah. Inilah titik masuk bagi lawan politik untuk menyerang secara sistematis dan pada akhirnya Ahok kalah dalam pemilihan yang digelar awal 2017.
Sejak saat itu, pengelompokan berdasarkan agama menjadi trend baru dalam politik nasional Indonesia Politik identitas menjadi dinamika yang tak terbendung. Memang ini gejala global yang mewarnai politik mondial pada dekade kedua abad ke-21. Namun, di tempat lain di dunia, politik identitas selalu menjadi gerakan alternative dalam melawan ketimpangan dan ketidakadilan structural yang menjadi dampak
langsung dari globalisasi dan politik liberal.di Indonesia, politik identitas berubah menjadi “politisasi identitas yang kebablasan” yang berbaur dengan metode black campaign meskipun di balut dengan istilah “negative campaign” atau kampanye negative.
Para politisi tidak bisa membedakan mana kampanye negative yang berdasarkan fakta dan mana kampanye hitam yang sejatinya fitnah dan kebohongan. Politik identitas di Indonesia hari ini mengambil tempat dalam ruang gelap yang terbentang antara nafsu untuk berkuasa dan semangat menebar kebencian dan fitnah.Media sosial menjadi hutan rimba yang tidak mempunyai aturan main sehingga orang ramai-ramai menabur fitnah dan kebencian.
Ketika pertama kali muncul di akhir 2016, Gerakan 212 masih memiliki dua warna yaitu gerakan moral dan gerakan politik. Massa yang datang dari berbagai daerah tergerak oleh kerinduan untuk membela kesucian iman. Namun, pada saat yang sama, elite dari gerakan ini sebagian sudah menjadi tim sukses politik
Singkatnya, dari aspek historik, 212 adalah gerakan politik yang bercampur dengan gerakan moral. Dalam perkembangan, terutama setelah Anies-Sandi menang pilkada DKl Jakarta, massa yang ideologis dari daerah mulai sadar dan meninggalkan kelompok ini. Itulah sebabnya kenapa ada pentolan 212 yang mendeklarasikan diri sebagai pendukung Jokowi-Maruf dan sebagian lagi meninggalkan gerakan lalu kembali pada rutinitas hidup karena enggan berpolitik. Sedikit yang bertahan terus memperjuangkan misi politik yang dirancang dari awal yaitu ingin memperjuangkan calon presiden yang sesuai dengan haluan politik mereka.
Dari segi waktu, 212 yang semakin aktif menjelang pemilu 2019, berdasarkan apa yang kami amati menunjukkan bahwa Komunitas 212 memang telah menjadi gerakan kampanye poltik yang tidak bisa
lagi dianggap sebagai perjuangan moral murni, Eskalasi gerakan yang seiring dengan momen kampanye
poltik yang semakin mendekati waktu pemilihan 2019 mensinyalir 212 sebagai gerakan oposisi yang bertujuan meraih kekuasaan.
Kontrak politik atau Pakta Integritas GNPF (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa) yang diteken Prabowo- Sandi adalah bukti bahwa gerakan berjubah agama yang masuk ke ruang politik saat ini adalah murni
gerakan kekuasaan. Maka 212 yang aktif sejak 2016 dan diperkirakan akan terus aktif sampai pemilu 2019 jelas merupakan bagian dari scenario kampanye politik untuk mendukung calon tertentu dan
dipastikan ingin mengalahkan petahana Presiden Joko Widodo.
Berikut, narasi yang dibangun oleh elite PA 212, kalau kita perhatikan propaganda mereka di media sosial dan di media mainstream, merupakan narasi kekuasaan. Wacana yang diangkat pada umumnya
adalah kritik dan serangan terhadap pemerintah dan institusi Negara yang saat ini bekerja Gerakan 212 telah menjadi gerakan oposisi politik yang ingin memperjuangkan kekuasaan dan menghendaki pemerintahan Presiden Jokowi berakhir pada pilpres 2019. Dengan kata lain, reuni 212
yang akan digelar esok merupakan murni oposisi politik untuk melawan pemerintahan saat ini. 212 telah menjadi bagian dari kekuatan kampanye politik yang melawan pemerintahan Jokowi dan dengan sendirinya menguntungkan kubu Prabowo-Sandi.
Akal sehat public bisa membuat kesimpulan jelas bahwa maneuver politik 212 telah menguntungkan oposisi. Atau mari kita uji terbalik, dengan logika falsifikasi Popperian, misalnya. Tanyakan pada
pasangan Prabowo-Sandi, apakah mereka bisa menjelaskan dan memberikan bukti empiris bahwa 212
tidak menguntungkan perjuangan politik oposisi. Wallahua’lam!!
Dalam pelaksanaan Reuni 212, ada pengelompokan massa pendukung capres di sana, ada simbol Kampanye berupa spanduk, hadir calon presiden Prabowo Subianto, dan ada lontaran kritik terhadap
pemerintah dalam orasi. Lebih konkritnya, ada pemutaran lagu “2019 Ganti Presiden”,Telepidato Rizieq Sihab tentang “tidak boleh memilih partai penista agama”, orasi Tengku Zulkarnain

kinerja Jokowi. Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa kegiatan Reuni 212 telah di geser dari gerakan moral menjadi gerakan Kampanye. Gerakan ini melanggar pasal 275 dan 276 dalam UU no 7 /2007 tentang pemilu yang menetapkan bahwa menjadi gerakan kampanye dalam bentuk rapat umum di lakukan 21 hari sebelum masa tenang.jadi, ini jelas curi start Kampanye. (vocnews-MNRN)