Peluncuran Strategi Nasional Penanganan Anak Tidak Sekolah dan Diseminasi Nasional Hasil Monitoring Anak Tidak Sekolah Pasca COVID-19

Peluncuran Strategi Nasional Penanganan Anak Tidak Sekolah dan Diseminasi Nasional Hasil Monitoring Anak Tidak Sekolah Pasca COVID-19
Bullet points for a joint press release of Bappenas – MoV – UNICEF
OOSC Situation in Indonesia:
Situasi Anak Tidak Sekolah di Indonesia:
•Out-of-school children is a global issue and it is a critical problem to address for achieving the SDGs’
target in education participation.
Anak Tidak Sekolah (ATS) merupakan isu global dan adalah suatu permasalahan yang krusial untuk diatasi guna mencapai target Tujuan Pembangunan Bekerlanjutan (TPB) dalam partisipasi pendidikan.
•Indonesia has shown a steady progress towards the achievement of many SDG4 targets, including those concerning access to education. Susenas data shows that the percentage of 7-18 years old
children and adolescents who are out-of-school has decreased consistently over time.
Indonesia telah menunjukkan kemajuan berkelanjutan dalam pencapaian target-target SDG4, termasuk yang terkait dengan akses pendidikan. Data Susenas menunjukkan proporsi anak dan
remaja usia 7-18 tahun yang tidak bersekolah mengalami penurunan secara konsisten dari waktu ke waktu.
•In 2019 there are still 4.3 million school-age children in Indonesia who are not in school and mostly having in densely populated province such as West Java, Central Java, and East Java. OOSc is found mostly in the poor families and rural areas. That condition requires concerted efforts from multi-
stakeholders to ensure the right of every child to education fulfilled.
Pada tahun 2019, masih terdapat 4,3 juta anak usia sekolah di Indonesia yang tidak bersekolah,yang sebagian besar terkonsentrasi di provinsi-provinsi padat penduduk, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. ATS sebagian besar berada pada kelompok keluarga tidak mampu dan daerah pedesaan. Kondisi tersebut membutuhkan upaya bersama dari berbagai pemangku kepentingan
untuk memastikan hak setiap anak atas pendidikan terpenuhi.
The National Strategy on Out-of-school Children (OOSC) Strategi Nasional Penanganan ATS
•Bappenas and UNICEF have been working together in developing the National Strategy on Out-of-School Children. The Strategy focuses on various group of OOSC aged 7-18 years and describes the
complexity of interrelated issues and problems that cause children and adolescents to not attend school or drop out of school.
Bappenas dan UNICEF telah bekerja sama dalam pengembangan Strategi Nasional Penanganan Anak Tidak Sekolah. Strategi ini berfokus pada berbagai kelompok ATS usia 7-18 tahun dan memberikan gambaran kompleksitas sejumlah isu dan permasalahan yang terkait satu sama lain yang menyebabkan anak dan remaja tidak bersekolah atau putus sekolah.
The Strategy aims to ensure the strengthening, improvement, expansion and more effective coordination of various government programmes and policies as well as community initiatives to better meet the educational and training needs of out-of-school children and adolescents in
Indonesia.
The Strategy also provides direction on policy and priority actions that need to be taken by the government both at national and sub-national level and communities to address the issue.
Strategi Nasional ini bertujuan untuk memperkuat, meningkatkan, memperluas, dan mendorong koordinasi yang lebih efektif untuk pelaksanaan berbagai program dan kebijakan pemerintah serta
inisiatif masyarakat yang membantu pemenuhan kebutuhan pendidikan dan pelatihan anak dan remaja yang tidak bersekolah di Indonesia. Strategi Nasional ini juga berisi panduan kebijakan dan tindakan prioritas yang perlu dilakukan oleh pemerintah baik di pusat maupun daerah serta masyarakat untuk mengatasi permasalahan ATS.
Monitoring Results of COVID-19 Impact on Out-of-School Children
Hasil Monitoring Dampak COVID-19 terhadap Permasalahan Anak Tidak Sekolah
•The COVID-19 pandemic has a very negative impact on children’s and adolescent’s education at all
levels in Indonesia. It is highly plausible that the number of OOSC and adolescents may increase significantly due to this situation. In responding to this, UNICEF and the Ministry of Village, Development of Disadvantaged Region, and Transmigration have recently conducted monitoring on the impact of COVID-19 on OOSC through a nation-wide implementation of the Community-Based
Development Information System (CBDIS).
The monitoring looked at the impact of the pandemic on education continuation of children from socio-economically disadvantaged families mostly in rural
communities.
Pandemi COVID-19 sangat berdampak negatif terhadap pendidikan anak dan remaja di semua jenjang di Indonesia.
Sangat memungkinkan jumlah ATS meningkat secara signifikan karena kondisi
ini. Merespon hal tersebut, UNICEF dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi baru-baru ini melakukan monitoring dampak COVID-19 terhadap permasalahan ATS melalui pendataan Sistem Informasi Pembangunan Berbasis Masyarakat (SIPBM) secara nasional.
Monitoring ini bertujuan melihat dampak COVID-19 terhadap kelangsungan pendidikan anak dan remaja dari keluarga kurang mampu khususnya yang berada di daerah perdesaan.
•While the monitoring covered children and adolescents aged 4-18 years, the analysis focuses on those at the aged of 7-18 years who might have dropped out of school or at-risk of dropping out due
to the COVID-19 pandemic. The total number of families covered during the monitoring was 109,746 including 145,882 children and adolescents. Key findings:
Meskipun monitoring tersebut mencakup anak dan remaja usia 4-18 tahun, analisis hasil monitoring difokuskan pada anak usia 7-18 tahun yang mungkin telah putus sekolah atau berisiko putus sekolah karena pandemi COVID-19.
Jumlah keluarga yang tercakup selama pelaksanaan monitoring adalah
109.746 keluarga dengan jumlah anak daan remaja sebanyak 145.882.
Temuan utama:
o Almost 1000 children and adolescents aged 7-18 years(58% boys; 42% girls) had already dropped out due to the impact of COVID-19, 74% of those did so due to economic reasons.
Hampir 1000 anak dan remaja usia 7-18 tahun (58% laki-laki; 42% perempuan) putus sekolah karena dampak COVID-19, 74% diantaranya putus karena alasan ekonomi.
Although dropped out rate due to early marriage were not high, girls were over 10 times more likely to have dropped out due to early marriage than boys.
Meskipun jumlah anak yang putus sekolah karena pernikahan dini tidak tinggi, anak perempuan lebih dari 10 kali lebih rentan putus sekolah dibandingkan dengan anak laki-laki karena faktor ini.
Children with a disability were twice as likely to drop out due to COVID-19 than children without a disability.
Anak-anak penyandang disabilitas dua kali lebih besar kemungkinannya putus sekolah karena dampak COVID-19 dibandingkan anak-anak tanpa disabilitas.
Three out of 4 children from disadvantaged families enrolled in school are considered at risk of
dropping out due to 1 risk factor. One-third of are at higher risk of dropping out due to 2 or more risk factors. There were no significant gender differences among the group at risk of dropping
out – boys and girls are equally vulnerable.
Tiga dari 4 anak bersekolah dari keluarga tidak mampu rentan untuk putus sekolah karena memiliki paling tidak satu faktor risiko. Sepertiga dari mereka lebih tinggi risikonya untuk putus sekolah karena memiliki dua atau lebih faktor risiko.
Tidak ada perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan – keduanya sama rentannya untuk putus sekolah.
Unpaid work was the most common risk factor, involving more than 50% of the enrolled group, followed by limited access to handphones for online learning (37%) and caring for siblings (28%).
Children with a disability are twice as likely to have 2 or more risk factors than other children and are thus at higher risk of dropping out due to COVID-19.
Bekerja tanpa upah merupakan faktor risiko terbanyak yang dapat menjadi penyebab anak rentan putus sekolah dan hal ini dialami lebih dari 50% anak.
Kemudian diikuti dengan
keterbatasan fasilitas handphone untuk mengikuti pembelajaran daring (37%) dan mengasuh adik (28%). Anak-anak penyandang disabilitas dua kali lebih tinggi kemungkinannya untuk
memiliki setidaknya 2 faktor risiko jika dibandingkan dengan anak-anak bukan penyandang disabilitas dan karenanya mereka lebih berisiko untuk putus sekolah karena dampak COVID-19.
Those studying only at home are at greater risk of dropping out mainly due to lack of facilities for online learning as well as limited monitoring by schools and village governments.
Anak-anak yang hanya mengikuti pembelajaran dari rumah berisiko lebih besar untuk putus sekolah yang utamanya disebabkan oleh kurangnya fasilitas u
Children and adolescents in the eastern part of Indonesia are at higher risk of dropping out than in other regions.
Anak dan remaja di wilayah timur Indonesia lebih berisiko untuk putus sekolah jika dibandingkan dengan anak dan remaja di wilayah lain.
Around 13% of children aged 4-6 years were not enrolled in school, 18% were attending primary school, and about 69% were enrolled in pre-primary.
Sekitar 13% anak usia 4-6 tahun tidak bersekolah, 18% diantaranya bersekolah di SD/Sederajat, dan 69% mengikuti layanan PAUD.
Kutipan Ibu Debora Comini, Representative UNICEF Indonesia:
“No child should miss out on quality education, and yet the COVID-19 pandemic is leaving behind the poorest and most vulnerable children as their families struggle to cope,” said UNICEF Representative Debora Comini. “This strategy is a major step toward supporting children across the country who have dropped out of school and those most at-risk of dropping out.”
“Tidak boleh ada seorang anak pun yang tidak memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pendidikan berkualitas, namun pandemi COVID-19 membuat anak-anak yang berasal dari keluarga paling miskin dan rentan semakin tertinggal karena keluarga mereka harus berjuang menghadapi pandemi ini,” kata
Representatif UNICEF Debora Comini. “Strategi ini merupakan langkah besar untuk membantu anak-anak di seluruh penjuru negeri yang telah putus sekolah maupun beresiko putus sekolah
Arnivocnews