Skip to toolbar

Rakyat Berdaulat Menolak Presidential Threshold

IMG_20211201_133509

Screenshot_2019-01-18-19-47-42-1

Laporan Minarni Djufri MP

Jakarta – menjelang Akhir tahun Aliansi Kekuatan Rakyat Berdaulat (AKRAB) gelar Silaturahmi dan Ramah tamah dengan Tema ” Rakyat Berdaulat Menolak Presidential Threshol.bertempat Rumah makan Raden Bahari jln Warung Buncit Jakarta Selatan.Rabu 01/12/2021.

Acara silaturahmi dan ramah tamah AKRAB dalam nuansa Demokrasi, di masa Pandemi ini dihadiri secara online Zoom dan offline 50% yang berjalan sesuai dengan protokol 5 M, dengan menghadirkan Narasumber terkemuka seperti Amien Rais(via Zoom) Fuad Bawazir, Tamsil Linrung, Eggi Sudjana (via Zoom ) , Daud Poliraja, Habib Umar Al Hamid, Rizal Ramli, Aminudin, Hendrajit, Abah Roudh Bahar.

Adanya President Threshold ini menurut para Tokoh dari AKRAB bisa diartikan mengebiri Demokrasi Pemilu dalam pemilihan Calon Presiden dan Wakil Presiden di tahun 2024, begitu juga yang disampaikan oleh para Tokoh terkemuka tersebut bahwa Hak dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden itu bukan hanya milik Partai Politik saja tapi milik Non Politik karena mereka jugalah termasuk pemegan saham republik. Diharapkan juga adanya harapan Presiden Threshold 0% atau Mahkamah Konstitusi juga ikut menolak Presiden Threshold sebelum memasuki Pemilu 2024 karna tidak sesuai dengan UU Nomor 7 tahun 2017.

Adapun yang pernah disampaikan oleh Ketua DPD Lanyalla Mahmud Matalitti bahwa ; faktanya, Presidential Thershold mengerdilkan potensi bangsa, karena sejatinya negeri ini tidak pernah kekurangan calon pemimpin tetapi kemunculannya digembosi aturan main yang sekaligus mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemipin terbaiknya dan semakin sedikit kandidat yang bertarung akan semakin mengecilkan peluang munculnya pemimpin yang terbaik.

Mengapa Presidential Threshold Harus
Dihapus?

Ada tiga pertanyaan mendasar yang harus kita jawab dengan jujur terkait Ambang Batas atau Presidential Threshold dalam
pencalonan pasangan Capres dan Cawapres pada Pilpres.

Pertama: pertanyaan tentang apakah pengaturan presidential Threshold yang terdapat dalam undang undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum sudah sesuai dengan konstitusi? mengingat undang undang wajib Derivatif dari konsitusi.

Kedua: Apakah pengaturan presidential Threshold yang ada di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sudah sesuai dengan keinginan masyarakat? Mengingat lahirnya Undang-Undang juga bertujuan untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat.

Ketiga, apakah Presidential Threshold dimaksudkan untuk memperkuat sistim presidensiil dan demokrasi atau justru sebaliknya, memperlemah?

Yang pertama, apakah Presidential Threshold sesuai dengan Konstitusi —Jawabnya adalah Tidak.

TIDAK ADA perintah konstitusi untuk melakukan pembatasan dukungan untuk pencalonan presiden. Yang ada adalah Ambang Batas KETERPILIHAN pasangan Capres dan Cawapres.

Tentang itu kita bisa baca di UUD NRI 1945, hasil Amandemen, di pasal 6A ayat (3) dan (4). Di situ disebutkan
perlu ada Ambang Batas Keterpilihan sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara popularitas dengan prinsip keterwakilan yang lebih lebar dan menyebar.

Sebaliknya, tentang Ambang Batas Pencalonan tidak tidak ada sama sekali. Justru disebutkan di Pasal 6A Ayat (2) yang tertulis,

Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”

Yang normanya dari frasa kalimat itu adalah, setiap partai politik peserta pemilu DAPAT mengajukan pasangan capres dan cawapres. Dan pencalonan itu diajukan SEBELUM Pilpres dilaksanakan.

Tetapi kemudian lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang merupakan pengganti dari Undang-Undang sebelumnya.

Dalam Undang-Undang tersebut, di Pasal 222 disebutkan: “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

Selain memberi ambang batas yang angkanya entah dari mana dan ditentukan siapa, di Pasal tersebut juga terdapat kalimat, “pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”. Yang kemudian menjadikan komposisi perolehan suara partai secara nasional atau kursi DPR tersebut diambil dari kompesisi yang lama. Atau periode 5 tahun sebelumnya.

Sungguh Pasal yang aneh, dan menyalahi Konstitusi. Apalagi menggunakan basis hasil suara yang sudah “basi”. Karena basis suara hasil pemilu 5 tahun yang lalu. Meskipun jelas bahwa pasal dalam Undang-Undang Pemilu tersebut Tidak DERIFATIF dari Pasal 6A undang undang hasil amandemen, tetapi Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pasal tersebut adalah bagian dari Open Legal Policy. Atau hak pembuat Undang-Undang. Sehingga, sampai hari ini, pasal tersebut masih berlaku.

IMG-20200326-WA0007

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *