Survei Nasional Trend Publik Tentang Korupsi di Indonesia

vocnewwindonesia.com-Jakarta, Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis hasil survei nasional yang bertajuk “Tren Persepsi Publik tentang Korupsi di Indonesia”. Rilis diadakan Hotel Akmani Jakarta Pusat Senin, (10 Desember 2018).
Hadir sebagai Narasumber dalam rilis ini adalah Dr. Saut Situmorang (Wakil Ketua KPK), Yanuar Nugroho, Ph.D. (Deputi ll Kepala Staf Kepresidenan), dan Adnan Topan Husodo, MA. (Koordinator ICW). Presentasi hasil rilis disampaikan oleh Burhanuddin Muhtadi, PhD. (Peneliti Senior LSI). Acara ini dimoderatori oleh Dr. Rizka Halida (Peneliti LSI).
Persepsi terhadap tingkat korupsi dan penilaian terhadap kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi dan tingkat korupsi, Saat ini mayoritas warga menilai bahwa tingkat korupsi mengalami peningkatan (52%). Akan tetapi, dibandingkan dengan tren korupsi dalam dua tahun terakhir, persepsi terhadap korupsi menurun, dari 70% pada 2016 menjadi 52% tahun ini.
Kondisi ini terjadi berkaitan dengan pengetahuan warga bahwa saat ini lembaga-lembaga yang ada telah melakukan langkah pemberantasan korupsi dan Iangkah tersebut dinilai efektif, meski dalam derajat yang bervariasi. KPK dinilai sebagai Iembaga yang paling banyak melakukan Iangkah pemberantasan korupsi (81%) dan tinggi efektivitasnya (85%).
Mayoritas warga saat ini juga menilai pemerintah serius melawan korupsi, terutama pemerintah pusat (69%). Dalam setahun terakhir, persepsi ini relatif tidak berubah. Namun demikian, persepsi terhadap tingkat korupsi berbeda terhadap pemerintah pusat, provinsi, kab/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan. Umumnya, warga menilai korupsi paling tinggi di pemerintah pusat, lalu menurun hingga yang paling sedikit korupsinya di tingkat desa/kelurahan. Artinya, semakin jauh dari warga, pemerintah semakin dipersepsi korup. Sebaliknya, semakin dekat dari warga, pemerintah semakin dipersepsi tidak korup.
Kinerja pemerintah dinilai sangat baik dalam infrastruktur dan pelayanan kepada masyarakat. Akan tetapi, dalam dalam mencegah korupsi dan menegakkan hukum terhadap pelaku korupsi masih perlu ditingkatkan.
Korupsi sebagaimana dialami dan dipersepsikan oleh warga,Mayoritas warga tidak toleran terhadap suap/gratifnkasi. Mereka menilai bahwa suap dan gratifikasi adalah sesuatu yang tidak wajar (63%). Akan tetapi, dalam dua tahun terakhir, yang menilai ”tidak wajar cenderung turun, sebaliknya yang menilai ”wajar” cenderung makin banyak. Mengenai kolusi, lebih banyak warga yang menilainya sebagai hal yang “tidak etis” dan hanya sedikit yang menilainya sebagai suatu ”kejahatan”.£elain itu, cukup banyak yang menilainya sebagai hal yang ”normal”.
Ketika ditanya tentang pengalaman menyaksikan langsung korupsi, sangat sedikit warga yang pernah menyaksikan korupsi secara langsung (4%). Demikian pula yang diceritakan oleh orang dekat yang pernah menyaksikan, sangat sedikit (6%). Mayoritas mengaku dirinya dan orang dekatnya tidak pernah menyaksikan korupsi secara langsung (75%).
Akan tetapi, sebetulnya warga cukup berpengalaman berhubungan dengan pegawai pemerintah dalam berbagai layanan publik dan dalam berhubungan tersebut juga terlibat pungli dan gratifikasi dengan derajat yang bervariasi. Hal ini kembali menunjukkan bahwa korupsi masih dipahami sebagai sesuatu yang terjadi di pusat, melibatkan kasus~kasus besar saja. Sementara suap atau gratifnkasi yang dialami warga dalam hubungan dengan pegawai pemerintah dianggap bukan korupsi.
Warga paling banyak berhubungan dengan pegawai pemerintah untuk memperoleh layanan kesehatan (49%), kemudian mengurus kelengkapan administrasi publik (46%), urusan dengan pegawai atau guru di sekolah negeri (27%), dan urusan dengan polisi (13%). Kemudian, lebih sediklt warga yang berhubungan dengan kampus negeri(6%), mencari kerja sebagai PN5 (5%), dan urusan dengan pengadilan (3%).
Dalam urusan-urusan tersebut, probabilitas warga diminta uang/hadiah di luar biaya resmi adalah ketika berurusan dengan pollsl (34%) dan pengadilan (26%). Dalam layanan publik, probabilltas warga diminta uang/hadiah di luar biaya resmi adalah ketika mengurus kelengkapan administrasi publik (KTP, KK, Akta Kelahiran) (17%). Selain ltu, ketika mencari kerja dl lembaga pemerintah (sebagal PNS) (1996), probabllitas tersebut Jugs dnggi meek! hanya sedlkit yang berurusan. Leblh lanjut, warga juga dapat memberl uang/hadlah dl luar ketentuan resmi meskipun tanpa diminta ketika berurusan dengan pegawai pemerintah. Proliabllitas warga memberi tanpa diminta paling besar ketika mengurus kelengkapan administrasl publik (16%) dan berurusan dengan polisi! (16%). Warga yang memberi uang dalam urusan-urusan tersebut, baik ketika diminta maupun tanpa diminta, paling banyak memberi agar urusan mereka cepat selesai. ‘
Pemberantasan Korupsi dan Kepercayaan terhadap lnstitusi
Mayoritas warga menilai Komisi Pemberantasan Kompsi (KPK) sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab mengatasl korupsi di Indonesia (75%). KPK tampak menjadi tumpuan warga untuk memberantas korupsi. KPK adalah lembaga yang paling dipercaya publik saat ini (85%).
Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang sudah berumur 19 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Jumlah sampel ditetapkan sebanyak 2.000 responden. yang dipilih secara acak menggunakan metode multistage madam sampling. Dengan asumsl simple random sampling, ukuran sampel 2.000 responden memiliki toleransi kesalahan survei (margin of error) sekitar +2.2% pada tingkat kepercayaan 95%. Responden terpilih diwawancaraI lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Proses pewawancara berlangsung pada 8-10 oktober 2018. Satu pewawancara bertugas untuk satu desa/kelurahan yang terdiri dari 10 responden ’Quality control terhadap hasil ” wawancara dilakukan secara random sebesar 20% dari total sampel oleh supevisor dengan kemball mendatangi responden terpilih (spot check), 10% responden dl PSU dengan mensupervlsi proses wawancara, dan 10%/ responden dengan menelepon kembali Dalam quality control tidak ditcmukan kesalahan berarti.(vocnews-MNRN)