Kuasa Hukum Dharmapala Nusantara: Jangan Mempolitisasi Kasus Meme Borobudur ini.
Kuasa Hukum Dharmapala Nusantara: Jangan Mempolitisasi Kasus Meme Borobudur ini!
Jakarta ,- vocnewsindonesia.com
Agenda saksi meringankan, sidang kasus penistaan agama dengan terdakwa Roy Suryo kembali digelar
Dengan menghadirkan empat orang saksi agenda meringankan, sidang kasus penistaan agama dengan terdakwa Roy Suryo, kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Sidang berjalan dengan tertib. Kamis (1/12/2022).
Tim kuasa hukum Organisasi Dharmapala Nusantara Sugianto .SH, turut angkat bicara perihal seluruh saksi ahli yang pernah dihadirkan oleh pihak Jaksa Penuntut Umum ( JPU ) PN Jakarta Barat. Menurut Sugianto, kami selaku tim kuasa hukum dari Organisasi Dharmapala Nusantara sama sekali tidak ada yang mempolitisasi seperti apa yang tim kuasa hukum (RS) ucapkan. “Kalau bicara politisasi bukan disini tempatnya, karena politik yang kuat itu adanya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kalau di pengadilan itu tempatnya perkara yang diputuskan oleh lembaga yudisial.” jelas Sugianto.
Mengapa terdakwa harus dihukum, karena peristiwanya sendiri sudah ada, lalu peristiwa yang sudah ada ini menurut tim kuasa hukum terdakwa tidak bersalah, nah nanti hakim dan jaksa yang akan membuktikan, apakah (RS) bersalah atau tidak.
“Makanya didatangkanlah semua ahli, mulai dari Ahli Tim Cyber Krimsus Polda Metro Jaya, Ahli Agama Buddha, Ahli Bahasa, Ahli Media Sosial, Ahli ITE., agar kasus ini terang benderang, biar kami tau siapa yang salah dan siapa yang benar.” tutur Sugianto.
“Ahli Agama Buddha sudah jelas dan terang menyatakan yang dilakukan (RS) itu salah, Patung Buddha ada 32 tanda – tanda kebesarannya, jadi sebuah Patung Buddha bagi seorang ahli Agama Buddha dia dapat melihat kebesaran sang Buddha, nah lalu (RS) mengubah mukanya dengan diganti wajah orang lain, apakah tanda – tanda kebesaran itu bisa dibuang, matanya, mulutnya, lalu ditulislah dengan kata – kata, Lucu, He 3x, lalu Ambyar, nah sudah jelas semua itu mengandung unsur penghinaan terhadap ajaran Agama Buddha dan Umat Buddha.
Bagaimana itu dengan kata – kata dikurung, menurut Ahli Agama Buddha suatu penodaan dengan menghilangkan salah satu simbol Agama Buddha. Dan sudah jelas bahwa ahli ITE menyatakan bahwa perbuatan yang dapat di pidana yaitu, menyebarkan luaskan dan meng-upload melalui medsos, perbuatan itu jelas harus di pertanggung jawabkan oleh si-pelaku dimata hukum.” tandas Sugianto.
Kevin Wu selaku Ketua Umum Organisasi Dharmapala Nusantara-pun turut berkomentar, “Kami tegaskan bahwa, ketika terjadinya dugaan pelanggaran, semua pihak pun bisa mewakili untuk melaporkan, baik secara yayasan, organisasi, maupun secara individu pun bisa melaporkan kasus semacam ini. Kita bisa berkaca pada kasus – kasus sebelumnya, bagi penganut agamanya siapapun tanpa ada keterwakilan sudah punya hak untuk mewakili hal tersebut. “Nah dengan adanya kalimat dari tim kuasa hukum terdakwa bahwa kasus ini direkayasa atau di politisasi, saya rasa itu hak mereka, karena tim pengacara atau pembela ( RS) tujuannya adalah mencari cara untuk meringankan atau membebaskan kliennya.” jelas Kevin wu.
“Sejak awal kami bisa melihat, bagaimana ketulusan teman – teman kami dalam memperjuangkan kasus ini, kelak hendaknya akan menjadi satu pembelajaran, “Inilah tujuan kami sebenarnya sama dengan kasus – kasus lain sebelumnya, dimana kasus penodaan agama seperti ini hendaknya tidak terulang lagi, baik oleh si-pelaku maupun calon – calon pelaku. Kenapa hal ini perlu di undang- undangkan, kenapa hal ini perlu diatur dalam hukum Negara, nah agar kita semua, masyarakat Indonesia bisa hidup berdampingan dengan saling menghargai saling menghormati walaupun kita punya keyakinan yang berbeda, akan tetapi perbedaan jangan dijadikan sebagai sumber konflik. Nah upaya – upaya pelecehan mengarah kepada penistaan, ini kan upaya yang dapat terjadinya potensi konflik di masyarakat. Walaupun awalnya hanya di media sosial, kalau kita biarkan akan ada potensi perpecahan, sesungguhnya itu sangat mungkin terjadi.
Bukan hanya kalimat – kalimat yang muncul tapi juga berupa teks, ada gambarnya, ada bentuk Vidio kalau dibiarkan, tidak ada yang bersuara, tidak ada yang membela, bukan hanya merugikan Agama Buddha saja, akan tetapi akan merugikan agama lainnya yang ada di Indonesia.” jelas Kevin Wu.
“Kita ini kan sesama anak bangsa jangan ada yang dirugikan, kenapa perekat – perekat lainnya semakin renggang dari hari ke-hari dengan pembiaran- pembiaran, oleh karena itu, kami bergerak, kebetulan kasus ini terjadi pada simbol yang dianggap suci oleh Umat Buddha. Oleh karena itu kami terpanggil untuk menyuarakan ini, namun kalaupun nanti terjadi kepada teman- teman kita, saudara- saudara kita, agama lainnya, kami pun turut prihatin atas kejadian ini.” tandas Kevin wu.
Pesan Kevin Wu, “untuk di masa depan tentunya akan banyak sekali kegiatan – kegiatan istimewa lainnya, jangan sampai menggunakan simbol – simbol yang dianggap sakral oleh umat beragama yang sifatnya bisa melecehkan, sifat menodai, karena ini bisa berpotensi merenggangkan dan bisa memecah belah masyarakat juga umat beragama.
Terkait pernyataan pintu maaf dari tim kuasa hukum terdakwa, bahwa kami adalah agama yang welas asih, bijaksana, tapi tidak ingin memaafkan, “Kami selaku Umat Buddha sebenarnya sudah memaafkan sejak awal, akan tetapi kita harus bisa membedakan antara praktek keagamaan dengan hidup bermasyarakat ini adalah dua hal yang berbeda, misalkan, kalau kita melaksanakan ritual keagamaan, kita kan hendaknya tidak dengan cara melecehkan atau menodai sebuah agama lainnya, nah kalau tadi bicara tentang praktik cinta kasih, praktik memaafkan, seperti yang saya katakan, sejak awal kami sudah memaafkan, namun tujuan kami adalah menjaga keutuhan Bangsa dan Negara. Kebetulan kali ini simbol Agama Buddha yang dilecehkan, dinodai, bahkan sifatnya dianggap remeh – temeh dan dijadikan lelucon.
“Saya berharap kepada para pengguna media sosial (medsos), janganlah membiasakan lelucon dan becandaan menggunakan simbol – simbol agama yang cukup sensitif bagi umat yang menganutnya. Jadi sekali lagi kami tegaskan, kami sudah memaafkan terdakwa, akan tetapi selaku masyarakat Indonesia yang hidup berdampingan, hidup taat dengan hukum makanya langkah ini kami ambil.” tutup Kevin Wu.
Kehadiran empat orang saksi dengan agenda meringankan, belum bisa memastikan kesaksian ke empatnya ini bisa meringankan atau bisa memberatkan terdakwa. Karena belum ada putusan dari pihak (JPU ) juga dari majelis hakim. Sidang akan dilanjutkan tanggal (5/12/2022).
Reporter, Djuli Asnawia